Minggu, 07 Oktober 2012




my self
Terlahir dikota Daeng 1 maret 1991, diberi nama oleh orang tua tercintanya Syamsinar Kadir berharap bisa membawa cahaya. Cewek berjilbab ini sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta ternama di Indonesia Timur, Universitas Muslim Indonesia ( UMI ) Makassar mengambil fakultas Kesehatan Masyarakat ( FKM ). Cita-citanya menjadi seorang dokter telah terkubur dalam-dalam sejak mencoba dua kali mendaftar di perguruan tinggi negeri dan ternyata tidak diterima. Perjalanan panjang menempuh pendidikan, penuh dengan pengorbanan karena sebuah cita-cita, ingin membangkan orang tua dan berguna bagi agamanya.
Seperti kata “ tak semudah membalikkan telapak tangan” begitu juga dengan kehidupannya. Hidup di keluarga yang sederhana membuat anak pertama dari enam bersaudara ini menguras banyak tenaga dan penuh tanggung jawab membantu orang tua. Sejak kecil ia sudah terbiasa kerja keras dan mandiri, setelah ayahnya meninggal waktu ia berumur lima tahun karena sakit, ibu dan adik-adiknya memulai hidup baru, ibunya berjualan di pasar dan kedua adiknya di asuh oleh tantenya di Bulukumba, setiap dua kali setahun ia dan ibunya menjenguk adik-adiknya.
Tak lama dari itu sepeninggal sosok seorang ayah terbaik di dunia yang tiap harinya membanting tulang untuk istri dan ketiga anaknya, beberapa tahun kemudian ibunya dinikahi oleh laki-laki bujang. Pada saat itu acara pernikahan pun berlangsung tapi ia tak mengerti apa yang terjadi pada saat itu.
Ternyata laki-laki pengganti ayah telah hadir dikehidupannya walaupun ia masih bertanya-tanya tentang sosok itu, kedua adiknya pun ikut tinggal bersama mereka disebuah gubuk kecil hasil kerja keras ibunya. Kemandiriannya pun terlahir ketika ia di bangku SD, melewati jalan setapak dan pekuburan bisa sampai di sekolahnya dengan uang jajan pas-pasan. Sepulang sekolah ia tak langsung bermain tetapi menjalankan amanah ibunya, membersihkan rumah karena ibunya tak sempat harus berangkat ke pasar setelah shalat subuh, begitu juga dengan ayah barunya karena berprofesi seperti ibunya sebagai pedagang di pasar.
Enam tahun ia berjalan kesekolahnya yang lumayan jauh dari rumah. Tapi tak sedikitpun ia mengeluarkan kata-kata bosan dan mengeluh. Ia sadar bukan orang yang beruntung seperti teman-temannya yang bisa beli ini itu dan di antar jemput oleh ayahnya, ia punya prinsip bahwa “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” begitulah hidup, seperti roda selalu berputar kadang diatas kadang dibawah. Percaya bahwa suatu saat ia juga berada di posisi atas.
Beriring jalannya waktu tak terasa ia memasuki bangku SMP, kehidupan tak lagi sekeras dulu, kehadiran adik barunya menambah kecerian hari-hari mereka, terlebih lagi ia suka dengan anak-anak kecil, beranjak dewasa memulai mengenal lawan jenis, sahabat, cinta, dan organisasi. Untungnya ia berbekal iman dari rumah yang diajarkan orang tuanya, tak seperti kawan-kawannya yang terjerumus akan pergaulan pacaran, ia malu dan tak sempat menekuni dunia pacaran hanya berkenalan dengan adik kelas yang kagum kepadanya.
Masih ada tanggung jawab yang dititipkan orang tuanya, sepulang sekolah ia harus menjaga kedua adiknya yang dititipkan di rumah neneknya tidak jauh dari sekolah kemudian jika matahari telah berada diufuk timur ia dan kedua adiknya segera pulang ke rumah dengan menggunakan angkutan umum ( pete-pete ), seragam putih biru yang masih melekat ditubuhnya menjadi saksi bahwa ia memiliki sifat keibuan.
Menjelang magrib orang tuanya pulang dengan kendaraan roda dua, makan bersama , mengaji, dan belajar. Perlahan-lahan kondisi ekonomi orang tuanya mulai membaik.
Di sekolah ia tidak begitu pintar, hanya rajin kerjakan tugas dan mudah bergaul dengan siapa saja, dan hasilnya mendapat rangking tiga di kelas, masuk ke kelas unggulan dan bertemu dengan ketiga sahabatnya. Sahabat yang luar biasa cantik dan cerewet. Mereka terdaftar di Organisasi Intra Sekolah ( OSIS ), tetapi ia ingin menambah pengalaman dan kawan barunya tak hanya OSIS, Palang Merah Remaja ( PMR ) dan Dewan Anak Makassar (DAM ) ikut dalam catatan organisasinya.
Sebelum meninggalkan bangku SMP, ia mengukir prestasi dan dengan bangga membawa pulang tropy kecil yang bertuliskan juara ke-2 lomba Fortopolio, dalam kacamata orang-orang lomba tersebut hanya dalam ruang lingkup kecil tetapi baginya begitu besar makna dalam hidupnya, bangga dengan dirinya mempersiapkan bahan materi juga berbicara didepan juri. Tiba saat perpisahaan ia tetap berpartisipasi dalam acara pementasan drama disekolah.  Acara tersebut benar-benar perpisahan dengan tiga sahabatnya.
Pendaftaran SMA berlangsung, tanpa pikir panjang ia langsung mendaftarkan diri di SMA Negeri 12 Makassar, kurang lebih 50 meter dari rumahnya. Tetapi keberuntungan tidak memihak kepadanya, ia dinyatakan siswa yang tidak lulus. Ibunya langsung mencarikan cara agar ia tetap bersekolah, setelah berbicara dengan pihak sekolah, dengan penuh pertimbangan ia pun diterima disekolah tersebut. Lagi-lagi organisasi, ia tetap terdaftar di OSIS dan Paskibra sekolah, pada saat pengibaran 17 Agustus ia mendapat jatah pasukan 45 ( paling belakang ), tak terima hal itu ia bertekad untuk berada di pasukan 8 ( posisi inti ) dipengibaran selanjutnya, dengan resep manjur seniornya rajin minum susu dan berdoa ia pun berhasil.
Sahabat  yang ia temukan di bangku SMA berbeda dengan sahabat sebelumnya, berjilbab, lebih cerewet, suka ceramah, dan senantiasa menuntunnya memakai jilbab. Dalam hati ia bersyukur diberikan lagi oleh ALLAH sahabat yang lebih baik. Karena jilbab ia enggan untuk pacaran, semakin kuat tekadnya untuk berpacaran setelah menikah. Walaupun ia merasa iri dengan teman-temannya, karena ia merasa seseorang yang pacaran itu ada yang selalu antar jemput kemana saja, ada yang perhatikan ini dan itu, tetapi ada sahabatnya yang selalu berkata kepadanya “ akan diberikan yang lebih baik dari itu jika kamu mampu bersabar, sesungguhnya orang-orang yang bersabar selalu dengan ALLAH.”
Seiring berjalannya waktu akhirnya ia lulus dari bangku SMA dan pendaftaran sekolah tinggi administrasi negara ( STAN ), Universitas Hasanuddin ( UNHAS ), dan universitas negeri lainnya dibuka, sebelumnya ia mengikuti beberapa bimbingan belajar dan tryout untuk menambah bekal ujian. Tetapi keberuntungan tak memihak lagi kepadanya, hanya berhasil mengumpulkan kartu tes dari berbagai universitas STAN,UNHAS,dan POLTEKES Makassar. Ia terpuruk, menangis, seakan tak percaya dengan kenyataan, sang ibu tetap memberikan ia semangat besar, masih ada harapan tahun depan untuk mencoba atau kuliah di perguruan tinggi swasta tahun ini.
Enggan berkuliah di perguruan tinggi swasta karena banyak hal, ia mengisi waktunya dengan kursus sambil menunggu tahun depan. Itu membuatnya lebih baik, lebih banyak teman, lebih banyak ilmu. Kehadiran adik baru lagi dirumah membuat suasana rumah makin ramai, lengkap sudah memiliki lima orang adik yang selalu membuatnya tertawa, tersenyum, menangis, kecewa, marah, dan terkadang membuatnya kembali kemasa kanak-kanak.
Tiga bulan ia mengikuti kursus, masih ada waktu untuk jalan-jalan, ia memutuskan untuk mengunjungi rumah tantenya di Sulawesi Barat, Mamuju jauh dari suasana kota dan menyatu dengan alam. Tiba disana ia disambut dengan pegunungan dan jurang-jurang. Beberapa bulan ia mulai akrab dengan suasana disana, ia mendapat informasi bahwa pendaftaran POLTEKES Mamuju dibuka, dengan bujuk rayuan tantenya iapun mengikuti pendaftaran, tes seleksi, dan akhirnya ia dinyatakan lulus dari sekian pendaftar. Pada saat itu kegembiraannya tak terbendung, tetapi dilain pihak ia sedih jika ia meneruskan kuliah disana, jarak antara orangtua dan adik-adiknya semakin jauh.
Setiap malam ia merindukan suasana rumah, terlebih lagi sang ibu, jika ia mulai memejamkan mata selalu terbayang wajah ibunya. Dengan menangis tersedu-sedu ia menutupi wajahnya dengan bantal karena takut terdengar oleh tantenya. Walaupun ibunya sering marah, kecewa kepadanya tetapi ia selalu rindu akan ibunya. Sesekali ia menangis karena rindu ingat ayah terbaiknya di dunia walaupun sudah ada ayah yang menggantikan.
Dengan berbagai alasan dan pertimbangan, ia memutuskan untuk membatalkan berkuliah disana dan akhirnya kembali ke Makassar.
Tak terasa pendaftaran universitas negeri dibuka kembali, persiapan semakin matang dengan doa dan puasa, tetapi kenyataannya ia lagi-lagi tidak diterima. Berbeda dengan tahun sebelumnya. Ia seakan ikhlas dan tegar menerima kenyataan, dengan saran ibunya berkuliah di UMI dan mengambil fakultas kesehatan masyarakat. Setelah mengikuti beberapa tahap dan prosedur iapun dinyatakan menjadi mahasiswa ber-almamater hijau.
Dulunya UMI yang ia anggap kampus rusuh yang tak memiliki arti, ternyata menjadi kampus yang membuatnya lebih memaknai arti kehidupan. Memulai dari pesantren kilat di Asrama Haji Sudiang kemudian ke pesantren kilat Padang Lampe, Pangkep menambah kecintaannya dengan islam, dan sampai sekarang bersama dengan dua sahabat terbaiknya sejagat raya. Selalu menemaninnya di saat suka maupun duka, disaat lapar maupun  kenyang, disaat ia tetap di Makassar dan mereka balik kekampung.
Mereka adalah bagian dari catatan hariannya, tanpa mereka ia tak bisa tertawa terbahak-bahak, menangis dihadapannya tanpa mereka ketahui apa penyebabnya, tanpa mereka juga tak ada yang menemaninya makan siang diluar kampus dengan slogan yang selalu dilontarkan sahabatnya “ murah, meriah, dan tidak mencret “
Semenjak ia menjadi mahasiswa di benak kawan-kawannya ia adalah orang yang super duper sibuk, antara kuliah di dua fakultas, organisasi, dan membantu orangtuanya di pasar, sang ibu tetap mendukungnya dengan apa yang telah ia pilih, karena hidup itu pilihan.
Rasa syukur tak henti-hentinya ia panjatkan kepada Sang Maha Segalanya. Sekarang ia lebih memaknai hidup, baginya tak ada lagi ayah baru tetapi ayah terbaik kedua didunia, ia berpikir mungkin ALLAH menggantikan ayahnya dulu agar kehidupannya lebih baik, agar ia tetap beriman kepada ALLAH dengan segala nasehat-nasehatnya, tak terpikir jika waktu itu ia tidak memiliki ayah kedua terbaik di dunia. Begitu juga dengan segala ujian yang diberikan ALLAH kepadanya, agar ia tetap kuat dan tegar menghadapi segala ujian. Ada makna dibalik semua yang terjadi.



Penulis : Terima kasih ya Rabb, atas segala ujianmu. Terima  kasih untuk ketiga orangtuaku, terima kasih untuk adik-adik dan keluargaku, begitupun dengan sahabat-sahabatku kalian telah mengajariku banyak hal tentang makna kehidupan didunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar