my self
Terlahir
dikota Daeng 1 maret 1991, diberi nama oleh orang tua tercintanya Syamsinar
Kadir berharap bisa membawa cahaya. Cewek berjilbab ini sedang menempuh
pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta ternama di Indonesia Timur,
Universitas Muslim Indonesia ( UMI ) Makassar mengambil fakultas Kesehatan
Masyarakat ( FKM ). Cita-citanya menjadi seorang dokter telah terkubur
dalam-dalam sejak mencoba dua kali mendaftar di perguruan tinggi negeri dan
ternyata tidak diterima. Perjalanan panjang menempuh pendidikan, penuh dengan
pengorbanan karena sebuah cita-cita, ingin membangkan orang tua dan berguna
bagi agamanya.
Seperti
kata “ tak semudah membalikkan telapak tangan” begitu juga dengan kehidupannya.
Hidup di keluarga yang sederhana membuat anak pertama dari enam bersaudara ini
menguras banyak tenaga dan penuh tanggung jawab membantu orang tua. Sejak kecil
ia sudah terbiasa kerja keras dan mandiri, setelah ayahnya meninggal waktu ia
berumur lima tahun karena sakit, ibu dan adik-adiknya memulai hidup baru,
ibunya berjualan di pasar dan kedua adiknya di asuh oleh tantenya di Bulukumba,
setiap dua kali setahun ia dan ibunya menjenguk adik-adiknya.
Tak lama
dari itu sepeninggal sosok seorang ayah terbaik di dunia yang tiap harinya
membanting tulang untuk istri dan ketiga anaknya, beberapa tahun kemudian
ibunya dinikahi oleh laki-laki bujang. Pada saat itu acara pernikahan pun
berlangsung tapi ia tak mengerti apa yang terjadi pada saat itu.
Ternyata
laki-laki pengganti ayah telah hadir dikehidupannya walaupun ia masih
bertanya-tanya tentang sosok itu, kedua adiknya pun ikut tinggal bersama mereka
disebuah gubuk kecil hasil kerja keras ibunya. Kemandiriannya pun terlahir
ketika ia di bangku SD, melewati jalan setapak dan pekuburan bisa sampai di
sekolahnya dengan uang jajan pas-pasan. Sepulang sekolah ia tak langsung
bermain tetapi menjalankan amanah ibunya, membersihkan rumah karena ibunya tak
sempat harus berangkat ke pasar setelah shalat subuh, begitu juga dengan ayah barunya
karena berprofesi seperti ibunya sebagai pedagang di pasar.
Enam
tahun ia berjalan kesekolahnya yang lumayan jauh dari rumah. Tapi tak
sedikitpun ia mengeluarkan kata-kata bosan dan mengeluh. Ia sadar bukan orang
yang beruntung seperti teman-temannya yang bisa beli ini itu dan di antar
jemput oleh ayahnya, ia punya prinsip bahwa “bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian” begitulah hidup, seperti roda selalu berputar kadang
diatas kadang dibawah. Percaya bahwa suatu saat ia juga berada di posisi atas.
Beriring
jalannya waktu tak terasa ia memasuki bangku SMP, kehidupan tak lagi sekeras
dulu, kehadiran adik barunya menambah kecerian hari-hari mereka, terlebih lagi
ia suka dengan anak-anak kecil, beranjak dewasa memulai mengenal lawan jenis, sahabat,
cinta, dan organisasi. Untungnya ia berbekal iman dari rumah yang diajarkan
orang tuanya, tak seperti kawan-kawannya yang terjerumus akan pergaulan
pacaran, ia malu dan tak sempat menekuni dunia pacaran hanya berkenalan dengan
adik kelas yang kagum kepadanya.
Masih ada
tanggung jawab yang dititipkan orang tuanya, sepulang sekolah ia harus menjaga
kedua adiknya yang dititipkan di rumah neneknya tidak jauh dari sekolah
kemudian jika matahari telah berada diufuk timur ia dan kedua adiknya segera
pulang ke rumah dengan menggunakan angkutan umum ( pete-pete ), seragam putih
biru yang masih melekat ditubuhnya menjadi saksi bahwa ia memiliki sifat
keibuan.
Menjelang
magrib orang tuanya pulang dengan kendaraan roda dua, makan bersama , mengaji,
dan belajar. Perlahan-lahan kondisi ekonomi orang tuanya mulai membaik.
Di
sekolah ia tidak begitu pintar, hanya rajin kerjakan tugas dan mudah bergaul
dengan siapa saja, dan hasilnya mendapat rangking tiga di kelas, masuk ke kelas
unggulan dan bertemu dengan ketiga sahabatnya. Sahabat yang luar biasa cantik
dan cerewet. Mereka terdaftar di Organisasi Intra Sekolah ( OSIS ), tetapi ia
ingin menambah pengalaman dan kawan barunya tak hanya OSIS, Palang Merah Remaja
( PMR ) dan Dewan Anak Makassar (DAM ) ikut dalam catatan organisasinya.
Sebelum
meninggalkan bangku SMP, ia mengukir prestasi dan dengan bangga membawa pulang
tropy kecil yang bertuliskan juara ke-2 lomba Fortopolio, dalam kacamata
orang-orang lomba tersebut hanya dalam ruang lingkup kecil tetapi baginya begitu
besar makna dalam hidupnya, bangga dengan dirinya mempersiapkan bahan materi
juga berbicara didepan juri. Tiba saat perpisahaan ia tetap berpartisipasi
dalam acara pementasan drama disekolah.
Acara tersebut benar-benar perpisahan dengan tiga sahabatnya.
Pendaftaran
SMA berlangsung, tanpa pikir panjang ia langsung mendaftarkan diri di SMA Negeri
12 Makassar, kurang lebih 50 meter dari rumahnya. Tetapi keberuntungan tidak
memihak kepadanya, ia dinyatakan siswa yang tidak lulus. Ibunya langsung
mencarikan cara agar ia tetap bersekolah, setelah berbicara dengan pihak
sekolah, dengan penuh pertimbangan ia pun diterima disekolah tersebut.
Lagi-lagi organisasi, ia tetap terdaftar di OSIS dan Paskibra sekolah, pada
saat pengibaran 17 Agustus ia mendapat jatah pasukan 45 ( paling belakang ),
tak terima hal itu ia bertekad untuk berada di pasukan 8 ( posisi inti )
dipengibaran selanjutnya, dengan resep manjur seniornya rajin minum susu dan
berdoa ia pun berhasil.
Sahabat yang ia temukan di bangku SMA berbeda dengan
sahabat sebelumnya, berjilbab, lebih cerewet, suka ceramah, dan senantiasa
menuntunnya memakai jilbab. Dalam hati ia bersyukur diberikan lagi oleh ALLAH
sahabat yang lebih baik. Karena jilbab ia enggan untuk pacaran, semakin kuat
tekadnya untuk berpacaran setelah menikah. Walaupun ia merasa iri dengan
teman-temannya, karena ia merasa seseorang yang pacaran itu ada yang selalu
antar jemput kemana saja, ada yang perhatikan ini dan itu, tetapi ada sahabatnya
yang selalu berkata kepadanya “ akan diberikan yang lebih baik dari itu jika
kamu mampu bersabar, sesungguhnya orang-orang yang bersabar selalu dengan
ALLAH.”
Seiring
berjalannya waktu akhirnya ia lulus dari bangku SMA dan pendaftaran sekolah
tinggi administrasi negara ( STAN ), Universitas Hasanuddin ( UNHAS ), dan
universitas negeri lainnya dibuka, sebelumnya ia mengikuti beberapa bimbingan
belajar dan tryout untuk menambah bekal ujian. Tetapi keberuntungan tak memihak
lagi kepadanya, hanya berhasil mengumpulkan kartu tes dari berbagai universitas
STAN,UNHAS,dan POLTEKES Makassar. Ia terpuruk, menangis, seakan tak percaya
dengan kenyataan, sang ibu tetap memberikan ia semangat besar, masih ada
harapan tahun depan untuk mencoba atau kuliah di perguruan tinggi swasta tahun
ini.
Enggan
berkuliah di perguruan tinggi swasta karena banyak hal, ia mengisi waktunya
dengan kursus sambil menunggu tahun depan. Itu membuatnya lebih baik, lebih
banyak teman, lebih banyak ilmu. Kehadiran adik baru lagi dirumah membuat suasana
rumah makin ramai, lengkap sudah memiliki lima orang adik yang selalu
membuatnya tertawa, tersenyum, menangis, kecewa, marah, dan terkadang
membuatnya kembali kemasa kanak-kanak.
Tiga
bulan ia mengikuti kursus, masih ada waktu untuk jalan-jalan, ia memutuskan
untuk mengunjungi rumah tantenya di Sulawesi Barat, Mamuju jauh dari suasana
kota dan menyatu dengan alam. Tiba disana ia disambut dengan pegunungan dan
jurang-jurang. Beberapa bulan ia mulai akrab dengan suasana disana, ia mendapat
informasi bahwa pendaftaran POLTEKES Mamuju dibuka, dengan bujuk rayuan
tantenya iapun mengikuti pendaftaran, tes seleksi, dan akhirnya ia dinyatakan
lulus dari sekian pendaftar. Pada saat itu kegembiraannya tak terbendung,
tetapi dilain pihak ia sedih jika ia meneruskan kuliah disana, jarak antara
orangtua dan adik-adiknya semakin jauh.
Setiap
malam ia merindukan suasana rumah, terlebih lagi sang ibu, jika ia mulai
memejamkan mata selalu terbayang wajah ibunya. Dengan menangis tersedu-sedu ia
menutupi wajahnya dengan bantal karena takut terdengar oleh tantenya. Walaupun
ibunya sering marah, kecewa kepadanya tetapi ia selalu rindu akan ibunya.
Sesekali ia menangis karena rindu ingat ayah terbaiknya di dunia walaupun sudah
ada ayah yang menggantikan.
Dengan
berbagai alasan dan pertimbangan, ia memutuskan untuk membatalkan berkuliah
disana dan akhirnya kembali ke Makassar.
Tak
terasa pendaftaran universitas negeri dibuka kembali, persiapan semakin matang
dengan doa dan puasa, tetapi kenyataannya ia lagi-lagi tidak diterima. Berbeda
dengan tahun sebelumnya. Ia seakan ikhlas dan tegar menerima kenyataan, dengan
saran ibunya berkuliah di UMI dan mengambil fakultas kesehatan masyarakat.
Setelah mengikuti beberapa tahap dan prosedur iapun dinyatakan menjadi
mahasiswa ber-almamater hijau.
Dulunya
UMI yang ia anggap kampus rusuh yang tak memiliki arti, ternyata menjadi kampus
yang membuatnya lebih memaknai arti kehidupan. Memulai dari pesantren kilat di
Asrama Haji Sudiang kemudian ke pesantren kilat Padang Lampe, Pangkep menambah
kecintaannya dengan islam, dan sampai sekarang bersama dengan dua sahabat
terbaiknya sejagat raya. Selalu menemaninnya di saat suka maupun duka, disaat
lapar maupun kenyang, disaat ia tetap di
Makassar dan mereka balik kekampung.
Mereka
adalah bagian dari catatan hariannya, tanpa mereka ia tak bisa tertawa
terbahak-bahak, menangis dihadapannya tanpa mereka ketahui apa penyebabnya,
tanpa mereka juga tak ada yang menemaninya makan siang diluar kampus dengan
slogan yang selalu dilontarkan sahabatnya “ murah, meriah, dan tidak mencret “
Semenjak
ia menjadi mahasiswa di benak kawan-kawannya ia adalah orang yang super duper
sibuk, antara kuliah di dua fakultas, organisasi, dan membantu orangtuanya di
pasar, sang ibu tetap mendukungnya dengan apa yang telah ia pilih, karena hidup
itu pilihan.
Rasa
syukur tak henti-hentinya ia panjatkan kepada Sang Maha Segalanya. Sekarang ia
lebih memaknai hidup, baginya tak ada lagi ayah baru tetapi ayah terbaik kedua
didunia, ia berpikir mungkin ALLAH menggantikan ayahnya dulu agar kehidupannya
lebih baik, agar ia tetap beriman kepada ALLAH dengan segala
nasehat-nasehatnya, tak terpikir jika waktu itu ia tidak memiliki ayah kedua
terbaik di dunia. Begitu juga dengan segala ujian yang diberikan ALLAH
kepadanya, agar ia tetap kuat dan tegar menghadapi segala ujian. Ada makna
dibalik semua yang terjadi.
Penulis
: Terima kasih ya Rabb, atas segala ujianmu. Terima kasih untuk ketiga orangtuaku, terima kasih
untuk adik-adik dan keluargaku, begitupun dengan sahabat-sahabatku kalian telah
mengajariku banyak hal tentang makna kehidupan didunia ini.